Wednesday, June 29, 2016

Menuju Puncak Lawu Melalui Jalur Surga (Candi Cetho) Part 2

Singkat cerita, setelah sampai di kamar badanku menggigil kedinginan dan paginya aku terserang demam tinggi. Niat hati ingin membatalkan pendakian, namun setelah membaca sms -sms hasil rekrutmen dan motivasi- dari Asad yang menggebu, kuurungkan niat itu. Kutarik selimut dan meminta salah satu teman kamarku untuk membekam badanku.
Pada awalnya peminat pendakian ini berjumlah tujuh orang, namun H-1 pendakian jumlah yang tujuh ini menyusut hingga hanya tiga orang. Hampir putus asa dan membatalkan rencana pendakian, namun akhirnya jumlah itu bertambah hingga ke jumlah semula, mereka; Aku, Asadul Islam Al-Farouq, Iik Haiki, Muhammad Zarkasyi, Ma’adul Yaqien Makarateng, Ahmad Adi Nugroho, Ahmad Fahmy dan salah satu kakak kelas kami.


Dengan keadaanku yang kurang fit, aku bersama yanag lain berangkat menuju tempat pendakian. Sekitar jam 12 malam kami sampai, Candi Cetho menyambut kedatangan kami dibalik temaram cahaya lampu. Sempat bingung menemukan jalur pendakian karena disamping malam yang gelap, kawasan candi-pun terkunci rapat. Namun setelah mempelajari peta yang tertempel di depan pos penjagaan kami langsung memulai pendakian. Nafasku mulai tersengal-sengal di langkah awal menaiki tangga menuju candi Cetho, karena memang di samping badanku yang kurang fit, akupun jarang bahkan hampir tak pernah berolahraga. Teriakan “break” dariku mulai terdengar saat baru menelusuri jalanan menuju candi Kethek, dan bisa dibayangkan bagaimana pendakian kami selanjutnya. Beban yang semula di pundakku kini sudah berpindah di pundak temanku, tapi tetap saja itu tak membuatku untuk mengurungkan teriakan “break”.
Hanya ditemani beberapa senter kami menyibak kegelapan hutan, aura mistis mulai terasa setelah melihat beberapa pohon besar yang dikeramatkan -ditandai dengan kain putih hitam yang terikat di batang besarnya-. Pos dua terlewati, jarak beberapa puluh meter dari pos kedua, kami memutuskan break untuk yang kesekian kali, di sini aku melihat keindahan lampu-lampu yang menerangi kota. Sengal nafasku mulai terdengar agak keras, teman-teman menewariku memakan coki-coki, kuambil satu dan mulai kumakan, tapi sayang, menurutku itu malah membuat nafasku tak teratur.
Jam 5 pagi kami baru sampai di pos ketiga, setelah shalat shubuh Asad -ketua tim- memutuskan untuk istirahat beberapa jam. Kesempatan tak dapat kunikmati benaar-benar, karena dinginnya daerah pegunungan menusuk-nusuk tulangku. Dua jam lamanya kami beritirahat, hingga akhirnya teriakan ketua tim meminta kami melanjutkan perjalanan.

Jalanan cukup menanjak, rating-ranting pohon bekas terbakar mulai sedikit menggangu langkahku. Baru beberapa puluh menit perjalanan, aku tertinggal beberapa meter, aku terduduk di atas batang pohon tumbang yang cukup besar. Tubuhku yang mengigil dan nafasku yang memburu tak menolerir perjalanan ini, dan akhirnya aku meminta teman-teman untuk meninggalkanku. Dari kejauhan aku melihat mereka berdiskusi, dan akhirnya mereka memutuskan untuk membangun kembali tenda dan memulai pendakian tanpaku. Di tengah lahan tandus dengan ranting-ranting bekas terbakar tenda itu berdiri, aku sudah tak memikirkan macam-macam, seperti binatang buas, hantu hutan atau apalah, yang aku pikirkan saat ini aku dapat beristirahat.

Sekitar jam 12 siang, langkah kaki teman-temanku terdengar jelas dari atas. Setelah mereka beristirahat sekitar setengah jam di tenda, ketua tim memutuskan untuk memulai turun. Obrolan-obrolan ringan terdengar, dan aku baru tahu kalau mereka juga tak sampai puncak. Hujan turun mengguyur tanah pegunungan dan membuat jalanan licin, beberapa suara mengaduh terdengar dari beberpa temanku karena kaki yang terpleset. Sedangkan aku, sejak hujan mulai turun aku memnfaatkan jalanan licin untuk merosot tanpa memikirkan pakaian atau tas yang aku bawa.
Dari jalanan menuju candi Kethek, kanan kiri ditumbuhi bunga-bunga yang luar biasa indah, di sini aku mulai bisa menerjemahkan arti jalur surga yang mereka dengungkan. Pohon-pohon yang tak begitu besar turut menghiasi setiap sisi jalan setapak, belum lagi air terjun kecil yang mengalir pelan di sisi jurang yang tak begitu curam. Beberapa lahan kosong dimafaatkan warga setempat untuk ditanami sayuran. Tapi sayang, kakiku yang luar biasa pegal tak mampu dibujuk dengan keindahan-keindahan itu.

Selama 3 hari lebih, pegal di kakiku tak mau pergi, paha dan betis tertarik kaku. Di titik itu, aku berniat menyudahi keinginan untuk mendaki. NamunDi penghujung tahun 2015 puncak gunung Ijen kutaklukkan, dan blue fire yang hanya ada di dua tempat di dunia ini-pun kusaksikan.

3 comments: