"gimana jadi
nggak?" teriakku ke arah teman dekat yang hanya beberapa meter. sebelumnya
aku tak pernah menyangka jika tiga kata ini akan membuatku sangat menyesal.
"ta'al!" dari
kejauhan aku mendengar suara serak yang tak asing di telingaku. dengan lemas,
aku mendatangi sumber suara itu. sebelum diminta kuserahkan langsung papan nama
yang menempel di jas. tak perlu interogasi panjang, ustadz pembimbing bahasa
"LAC" langsung menyuruhku untuk datang ke kantor.
lima belas menit
kemudian, aku sudah berada di depan kantor LAC. beliau memintaku masuk ke dalam
kantor.
"besok siang botak
dan datang kesini!" ungkapnya dengan bahasa arab tanpa ada basa-basi
sedikitpun.
sebenarnya aku tidak
kaget dengan hukuman yang diberi, karena memang hukuman untuk mereka yang berbicara
bahasa Indonesia di depan umum adalah botak (mencukur habis rambut), tapi ada
ribuan "tapi" yang bergelayutan di pikiranku.
"afwan ustadz,
kalau bisa jangan dibotak ustadz!" lobiku dengan bahasa arab sefasih yang
aku bisa! aku sedikit pesimis lobiku ini akan sukses. tapi harus dicoba
"Limadza....?"
tanyanya.
"sebentar lagi
praktek mengajar ustadz"
ku tundukkan kepalaku
dalam-dalam, rasa sesal menyesaki dadaku. aku tak pernah bisa membayangkan jika
nanti, saat aku praktek mengajar tanpa ada rambut di kepalaku. seketika bibirku
berdoa mengucap harap!
"kalau kamu sudah
tahu sebentar lagi mau praktek mengajar, setidaknya selalu berbahasa arab
dimanapun kamu berada!" nasehat beliau dengan intonasi suara yang agak
tinggi.
aku tak berucap apa-apa,
bibirku terlalu kelu untuk mencoba melobi lagi. aku pasrah!
"yah, saya nggak
akan botak kamu, tapi besok selama sehari kamu harus berdiri di depan BPPM
dengan membawa papan tulis ini!" ucap beliau sambil menunjukkan papan
tulis yang bertuliskan "aku suka berbahasa arab" berada tak jauh dari
kami. aku tersentak kaget, karena kata teman-teman, beliau dikenal dengan
ustadz yang tegas tak kenal lobi.
Pikiranku menerawang
jauh, satu konklusi yang dihasilkan dari penerawangan jauh itu. "butuh
mental besar berarti!", bagaimana tidak?, saat itu seluruh siswa kelas
enam dikarantina di BPPM. jika besok aku berdiri di depan BPPM dengan membawa
papan tulis itu, maka bisa dipastikan seluruh siswa almamater 2009 yang
berjumlah lebih dari 500 siswa akan melihatku, tak sampai disitu ribuan siswa
yang berlalu lalang di jantung Gontor pun akan turut menyaksikan.
aku iyakan hukuman dari
beliau. rasa itu tak pernah dapat dideskripsikan, rasa syukur karena rambutku
tetap menemaniku saat aku praktek mengajar, dan juga rasa malu yang akan
menemaniku nanti bercampur aduk menjadi satu.
esoknya, setelah shalat
shubuh ku datangi kantor LAC
, beliau sudah menunggu
ku dengan sebuah kursi dan papan tulis. beliau langsung menyerahkan itu semua
dan memintaku untuk berdiri di depan BPPM. hari itu aku dijemur dengan
menenteng papan tulis. waktu istirahatku hanya saat ketika masuk kelas dan
shalat 5 waktu.
jangankan rasa balas
dendam, rasa benci pun sama sekali tak pernah terlintas! karena aku mengakui
kesalahanku. aku bersyukur, di sini, di kampung damai ini aku punya banyak
ustadz-ustadz yang selalu full menjaga ibadah kami, disiplin kami, akademis
kami bahkan sampai bahasa yang kami gunakan.
3 tahun setelah itu, aku
dan beliau sama-sama diberi tugas untuk menjadi wali kelas satu. tak ada rasa
canggung di antara kita, kita bersama mencanangkan banyak program. kita bersama
bahu membahu menyukseskan segala acara pondok. terus bagaimana dengan hukuman
yang pernah beliau beri? hukuman itu hanya menjadi kenangan luar biasa yang aku
dapat saat nyantri.
No comments:
Post a Comment