Tuesday, June 28, 2016

Ta'al!!


"gimana jadi nggak?" teriakku ke arah teman dekat yang hanya beberapa meter. sebelumnya aku tak pernah menyangka jika tiga kata ini akan membuatku sangat menyesal.
"ta'al!" dari kejauhan aku mendengar suara serak yang tak asing di telingaku. dengan lemas, aku mendatangi sumber suara itu. sebelum diminta kuserahkan langsung papan nama yang menempel di jas. tak perlu interogasi panjang, ustadz pembimbing bahasa "LAC" langsung menyuruhku untuk datang ke kantor.
lima belas menit kemudian, aku sudah berada di depan kantor LAC. beliau memintaku masuk ke dalam kantor.
"besok siang botak dan datang kesini!" ungkapnya dengan bahasa arab tanpa ada basa-basi sedikitpun.
sebenarnya aku tidak kaget dengan hukuman yang diberi, karena memang hukuman untuk mereka yang berbicara bahasa Indonesia di depan umum adalah botak (mencukur habis rambut), tapi ada ribuan "tapi" yang bergelayutan di pikiranku.
"afwan ustadz, kalau bisa jangan dibotak ustadz!" lobiku dengan bahasa arab sefasih yang aku bisa! aku sedikit pesimis lobiku ini akan sukses. tapi harus dicoba
"Limadza....?" tanyanya.
"sebentar lagi praktek mengajar ustadz"
ku tundukkan kepalaku dalam-dalam, rasa sesal menyesaki dadaku. aku tak pernah bisa membayangkan jika nanti, saat aku praktek mengajar tanpa ada rambut di kepalaku. seketika bibirku berdoa mengucap harap!
"kalau kamu sudah tahu sebentar lagi mau praktek mengajar, setidaknya selalu berbahasa arab dimanapun kamu berada!" nasehat beliau dengan intonasi suara yang agak tinggi.
aku tak berucap apa-apa, bibirku terlalu kelu untuk mencoba melobi lagi. aku pasrah!
"yah, saya nggak akan botak kamu, tapi besok selama sehari kamu harus berdiri di depan BPPM dengan membawa papan tulis ini!" ucap beliau sambil menunjukkan papan tulis yang bertuliskan "aku suka berbahasa arab" berada tak jauh dari kami. aku tersentak kaget, karena kata teman-teman, beliau dikenal dengan ustadz yang tegas tak kenal lobi.
Pikiranku menerawang jauh, satu konklusi yang dihasilkan dari penerawangan jauh itu. "butuh mental besar berarti!", bagaimana tidak?, saat itu seluruh siswa kelas enam dikarantina di BPPM. jika besok aku berdiri di depan BPPM dengan membawa papan tulis itu, maka bisa dipastikan seluruh siswa almamater 2009 yang berjumlah lebih dari 500 siswa akan melihatku, tak sampai disitu ribuan siswa yang berlalu lalang di jantung Gontor pun akan turut menyaksikan.
aku iyakan hukuman dari beliau. rasa itu tak pernah dapat dideskripsikan, rasa syukur karena rambutku tetap menemaniku saat aku praktek mengajar, dan juga rasa malu yang akan menemaniku nanti bercampur aduk menjadi satu.
esoknya, setelah shalat shubuh ku datangi kantor LAC
, beliau sudah menunggu ku dengan sebuah kursi dan papan tulis. beliau langsung menyerahkan itu semua dan memintaku untuk berdiri di depan BPPM. hari itu aku dijemur dengan menenteng papan tulis. waktu istirahatku hanya saat ketika masuk kelas dan shalat 5 waktu.
jangankan rasa balas dendam, rasa benci pun sama sekali tak pernah terlintas! karena aku mengakui kesalahanku. aku bersyukur, di sini, di kampung damai ini aku punya banyak ustadz-ustadz yang selalu full menjaga ibadah kami, disiplin kami, akademis kami bahkan sampai bahasa yang kami gunakan.
3 tahun setelah itu, aku dan beliau sama-sama diberi tugas untuk menjadi wali kelas satu. tak ada rasa canggung di antara kita, kita bersama mencanangkan banyak program. kita bersama bahu membahu menyukseskan segala acara pondok. terus bagaimana dengan hukuman yang pernah beliau beri? hukuman itu hanya menjadi kenangan luar biasa yang aku dapat saat nyantri.


No comments:

Post a Comment